Senin, 12 Desember 2016

Donasi Sepatu untuk Waingapu


Melalui campaign Sepatu Sekolah untuk Waingapu kami mengajak kamu mengiringi langkah anak Sumba Sekolah. Ayo bergandeng tangan menemani mereka jemput impian!

Kupersembahan cerita yang akan mengantarkan kado di awal tahun yang baru untuk kalian adik-adikku, Permata Sumba, Pelita Bangsa Indonesia.

Kisah Dullah Si Penggembala Kuda Sumba

Mentari sudah menyongsong tinggi seperti semangat Dullah dan kawan-kawannya. Ke sekolah memanglah menjadi suatu kewajiban untuk mereka, lengkap dengan seragam dan atributnya. Rutinitas ini sama dengan daerah di Indonesia bagian manapun. Tetapi masalah alas kaki ini yang membedakan sekolah ini dengan sekolah yang lain. Bersepatu disini adalah bukan kebutuhan primer, melainkan suatu kebutuhan yang mewah bagi mereka. Sandal adalah sepatu di sekolah mereka.
“Hai kakak e !”
“Hai adik. Siapa adik punya nama?”
“Dullah kaka!”

Kami mulai menyapa dan mengakrabkan diri . Dia adalah Dullah, bocah 12 tahun yang duduk di kelas 6 SD Masehi Pau. Saat itu kami bertemu Dullah sepulang sekolah sedang menggembalakan kudanya, masih berseragam putih merah dengan tubuhnya yang kurus tinggi dan kaki yang tak beralaskan apapun. Padahal teriknya matahari Sumba siang itu menggambarkan betapa panasnya juga tanah yang kami pijak.

(Dullah baru saja pulang sekolah, masih berseragam, tapi kemana sepatu dia?)

Hari kedua kami bertemu Dullah lagi, kali ini ia bersama teman-temannya. Mereka berjalan sambil menenteng sandal jepit ditangan. Pemandangan anak-anak sepulang sekolah menenteng sandal jepit membuat kami terheran- heran. Kamipun bertanya:

“Eh Dullah, kenapa kok sandalnya ditenteng?”
“Iya kakak e, biar besok waktu digunakan ke sekolah lagi tidak kotor e.” Jawaban polos dari bibir Dullah yang lugu.
“Kenapa Dullah tidak pakai sepatu saja ke sekolah? Jejal pertanyaan kami kepadanya.

“Kaka, saya tidak ada sepatu. Sepatu saya sudah tidak muat lagi. Kemarin terakhir dibelikan bapak saya ketika saya masuk di kelas satu sebagai hadiah. Tapi sekarang sudah tidak muat lagi dipakai.”

Di tengah terik matahari Sumba kami merasakan sambaran petir siang bolong di hati kami. Kini kami berubah pemikiran kami bahwasanya sepatu adalah hal yang istimewa.
Dullah cukup mewakili teman-temannya menjelaskan bahwa semangat anak-anak Sumba pergi ke Sekolah meski hanya beralaskan sandal jepit tak kalah hebat seperti semangat anak-anak di Jawa. Di mana pulau yang mereka dambakan untuk dikunjungi.

“Kaka e, ajak Dullah ke Jawa”
“Kenapa Dullah ingin pergi ke Jawa?”
“Untuk Sekolah, supaya bisa jadi seperti kaka e”

Di hari-hari terakhir di Sumba kami mengetahui bahwa Dullah adalah anak yang gigih dalam mencapai apa yang ia cita-citakan. Untuk pergi ke sekolah saja belum semua anak-anak di Waingapu dan orangtua punya kesadaran. Ada beberapa anak yang sehari sekolah sehari tidak. Pernah suatu hari kami melihat Dullah menyemangati adiknya sendiri:

“ Adik besok harus pergi ke sekolah, besok kaka e belikan sepatu untuk sekolah”

Padahal kami tahu dari cerita Dullah bahwa membeli beras untuk makan sehari-hari saja harus menunggu kain tenun mamaknya terjual (belum tentu seminggu sekali) apalagi untuk beli sepatu di Kota.

Tim Aware of Waingapu (AWU) mengajak teman-teman untuk berdonasi dan menyebarkan campaign #SepatuWaingapu. 

Dullah dan teman-temannya di Waingapu Sumba Timur sangat pantas mendapatkan kado sepasang sepatu. Selain untuk melindungi kaki mereka dari teriknya matahari Sumba dan menghindarkan dari penyakit kulit atau penyakit lainnya yang tertular melalui tanah, hal ini juga salah satu bentuk dukungan kita semua untuk menyemangati mereka dalam mewujudkan mimpi-mimpinya.
Kami mengajak teman-teman untuk mengirimkan kado sepasang sepatu untuk mereka. Yuk bantu Waingapu bersepatu dengan sedikit berbagi melalui :
1. Klik https://ktbs.in/qmk2u atau https://kitabisa.com/sepatuuntukwaingapu
2. Klik *"donasi sekarang"*
3. Isi data diri (bisa anonim) dan pilih cara pembayaran 
4. *Transfer ke no rekening yang dipilih*, jangan lupa dengan kode uniknya 
5. Bantu *share informasi ini* ke lingkaran terdekat kita

Narahubung: Brian Sahar (081286910815)
Semoga niat tulus kita dapat menambah senyum di wajah adik-adik Waingapu.
#SepatuWaingapu

NB: Team AWU menerima donasi secara langsung melalui anggota tim kami :
- Bali : Dewa (087861806081)
- Lampung : Gema(085769737771)
- Malang : Jibril(+6282336611770)
- Jakarta : Derry(082298809918)
- Surabaya : Susmita(085755104795)
- Mojokerto : Ragil(081260618166)
- Jogjakarta : Thio (08981187529) 
- Solo : Brian Sahar (081286910815)
- Semarang: Gayuh (085640010110)
Terimakasih
Salam hangat,
Team AWU (Aware of Waingapu)

Senin, 28 November 2016

Tak Rasional Sejak Dini

Dewasa ini sering sekali kita menjumpai hal-hal tidak rasional di sekitar kita, dan Indonesia pada umumnya. Ambil contoh kita berantem di grup FB hanya karena perbedaan pendapat, kita bertengkar hanya karena hal sepele lainnya.
Pernah kah kita berpikir apa penyebab dari itu semua? Saya lagi makan ayam geprek di ruang tamu kost ketika mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut.
Pernah kah terlintas di pikiran bahwa kita menjadi tidak rasional seperti sekarang ini karena kita sudah di-set secara tidak sadar oleh orang tua kita, yang ternyata juga tak sadar bahwa mereka di-set oleh orang tuanya? Ribet ya.
Jadi begini, cukup dijawab dalam hati. Di waktu kecil pernahkah anda terjatuh saat belajar berjalan, kemudian anda menangis? Pasti pernah. Dan apa yang dilakukan orang tua anda? Memukul tembok dan memarahi tembok agar kita diam? Oke, saya terima anggukan kepala itu.
"Uuuuh .. Tembok nya nakal. Cup cup cup jangan nangis lagi ya". Kira-kira begitu.
Sering kali jurus tersebut digunakan kepada anak kecil dan ternyata ini ampuh. Tapi apa efek jangka panjangnya? Terekam di alam bawah sadar, bahwa lingkungannya lah yang salah. Bukan dia. Ketika dia berjalan dan terjatuh karena tidak hati-hati, lingkungan lah yang salah. Dan akhirnya terbawa hingga dewasa.
So mulai sekarang, sebagai calon orang tua atau pun yang punya saudara dan masih kecil, mulai dari sekarang berhenti memukul dan memarahi tembok ya.
Ini sekadar corat-coret sotoy saya. Sekarang biarkan saya melanjutkan suapan nasi plus ayam geprek yang tadi sempat terhenti.
Ahmad Shofwan Muis
Juga pernah terjatuh tapi yang dimarahin adalah tembok
Surakarta, 12 November 2015

Sabtu, 26 November 2016

Mendaki Sindoro


Sesuatu yang pertama selalu menjadi hal yang spesial. Akhirnya bisa mendaki puncak pertama saya di tanah Jawa, tentu saja di luar puncak Bogor ya. Yap, dan momen pertama saya tersebut jatuh kepada Sindoro.
Perjalanan Mendaki Gunung Sindoro dimulai dari Solo dan rehat di Temanggung sebelum menuju basecamp Sindoro di Kledung. Jam sembilan pagi, kaki mulai melangkah. Singkat cerita pukul 12 siang, kaki sudah menginjak pos 3. Oiya, jadi di Sindoro ada empat pos, dan pos 3 bisa dikatakan adalah setengah jalan menuju puncak. Diputuskan kita tidak membuat camp di pos ini, karena jalan masih jauh. Pukul empat, lanjut jalan menuju pos 4, tempat kita berencana mendirikan camp. Hingga kemudian "manusia hanya bisa berencana namun Tuhan lah yang menentukan".
Tepat sebelum adzan maghrib berkumandang, tetesan air jatuh ke bumi secara keroyokan. Iya, mereka emang gak gentle. Kalau berani, sendirian sini. Oke lanjut. Rencana berubah, dome didirikan di tengah hujan lebat. Ya sekadar berdiri sebagai tempat berteduh. Dome kapasitas lima orang ditempati sekitar selusin manusia yang menggigil dengan baju basah kuyup. Oke, ini bukan rintangan ujar saya dalam hati. Hingga jam delapan malam, hujan belum kunjung reda. Dingin dan kram mulai melancarkan serangannya, tentu ini berefek ke sisi psikologis. Saling berdempetan, saling memotivasi, saling menguatkan menjadi penghangat tenda kami malam itu. Sekitar jam 10 malam, sudah tak terdengar suara percikan air di atap dome. Kami keluar dengan badan menggigil dan.... Voila! Langit menjadi cerah secerah-cerahnya. Pemandangan lampu kota Temanggung dan Wonosobo bertaburan di bawah sana. Tak lupa juga dengan Sumbing yang berdiri kokoh di antara kedua kota tadi. Sungguh hadiah yang luar biasa. Alhamdulillah.

Perjalanan menuju puncak dilanjut keesokan paginya. Jaraknya mungkin tak sejauh pos sebelumnya, tapi kemiringan medan membuatnya terasa menjadi lebih jauh. Jalur pendakian dengan tanjakan sekitar 45 hingga 65 derajat tersaji di hadapan. Alhasil dengan jalan santai dan banyak istirahat, baru tiga jam kemudian saya sampai puncak.
Pun keberadaan saya di puncak tak begitu lama, hanya sekitar lima menit. Ini karena puncak Sindoro adalah kawah yang mengeluarkan belerang dan saat itu belerangnya sedang keluar. Tapi seperti kebanyakan orang-orang, meskipun singkat momen tersebut tentu harus diabadikan. Jegrek-jegrek dan langsung turun.

Sekitar jam enam sore, kami sudah tiba di basecamp awal kami. Yap, hanya menghabiskan waktu sekitar tiga setengah jam. Turun memang tidak memakan waktu seperti saat naik. Dan secara psikologispun terasa lebih ringan karena tujuan sudah tercapai.
Mungkin cerita ini tidak begitu keren bagi kalian. Saya sengaja membuat seperti ini, agar kalian merasakan sendiri rintangam dan tantangan dari mendaki. (Oke ini ngeles)
Sindoro summit: challenge passed. And may the 2016 be with us!

Kamis, 24 November 2016

Menjelajah

“A ship is safe in the harbor, but that’s not what ships are built for.” – Gael Attal
Tuhan menciptakan bumi yang luas untuk dijelajahi oleh manusia. Ibarat sebuah kapal, ia memang akan aman di pelabuhan namun bukan itu tujuan diciptakannya kapal. Menjejak lah, bumi ini tak hanya kota atau bahkan kostmu saja. Datangilah tempat berbeda tiap harinya, dengannya kamu bisa mendapatkan banyak hal seperti teman hingga pengalaman baru. Mengeksplor tempat-tempat baru juga adalah salah satu cara mengembangkan otak kanan. Tentu akan meningkatkan kreativitasmu, karena saat di perjalanan kamu akan dipertemukan dengan hal-hal yang tak terduga dan membutuhkan kemampuan adaptasi.

Ahmad Shofwan Muis
Baru aja balik dari sebuah penjelajahan kecil

Selasa, 22 November 2016

Hanyut dalam Passion

“Love what you do and do what you love. Don't listen to anyone else who tells you not to do it. You do what you want, what you love. Imagination should be the center of your life.” - Ray Bradburry.


Pagi ini saya sedang you-tubing. Saya melihat video official dari Adele. Jujur baru kali ini saya melihat video-videonya meski saya sudah menikmati lagunya sedari dulu. Sebut saja Rolling in The Deep, Set Fire to The Rain, Someone Like You dan yang terbaru Hello. Tentu tak lupa video-video live dan sesekali video wawancara Adele.
Ada satu hal yang saya cermati, bahwa Adele benar-benar memiliki passion di dunia tarik suara. Dia terlihat begitu menghayati setiap lagu hingga lirik yang dinyanyikan. Di luar panggung ia tampak begitu hangat dengan sering melemparkan candaan tapi begitu piano dimainkan sebagai permulaan lagu dan ia memegang microphone, ia dengan seketika menjadi Adele yang gelap, dingin, serius, wanita yang pernah tersakiti, kuat sekaligus rapuh namun tetap tak kehilangan keanggunannya. Di balik semua itu, sangat terlihat bahwa inilah passionnya dan sangat menyenangkan melihat orang yang melakukan sesuatu dengan passion. Entah saya ini terlalu berlebihan ataukah tidak, tapi setidaknya itu menurut saya.
Saya sangat ingin bisa menjadi seperti Adele dan beberapa orang besar di luar sana, bisa menemukan passion dan mendapatkan bonus berupa bayaran dari apa yang saya lakukan. Di buku-buku motivasi sering diungkapkan "Love what you do and do what you love". Tentu jika diberi kesempatan, saya sangat ingin melakukan apa yang saya sukai, alih-alih berusaha menerima keadaan dengan mencintai apa yang sedang saya lakukan. Saya ingin hanyut seperti Adele, menikmati apa yang dilakukan, tak menyadari waktu dan ternyata kemudian sudah berada di puncak. Itu semua karena rasa suka dan sukarela dari diri hingga bersedia memberi lebih dari 100% dan yang terbaik kepada hal yang sedang dikerjakan.
Akhirul kalam "Ya Allah, berilah aku kekuatan dan keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, berilah aku kesabaran dan kedamaian hati untuk menerima hal-hal yang tidak bisa aku ubah, dan berilah aku kebijaksanaan untuk dapat membedakan keduanya".
Ahmad Shofwan Muis

Minggu, 20 November 2016

Sisi Lain Suatu Peristiw


Ketidakberuntungan bagi kita terkadang adalah rezeki bagi orang lain.
Baru saja saya naik motor, belum jauh dari titik keberangkatan tiba-tiba hujan turun dengan deras. Lanjut enggak, lanjut enggak? Tanya dalam hati. Tujuan masih jauh, pakaian belum terlalu basah. Oke, saatnya menepi pikirku.
"Ah ada-ada aja nih hujan. Bikin basah orang aja". Sambil menghindari hujan saya berlari kecil ke tempat teduh. Tak disangka tempat tersebut adalah sebuah warung.
Saat saya masuk terlihat sudah ada dua kaum kehujanan seperti saya. Hmmm sembari menunggu hujan, kayaknya ditemani segelas teh hangat tak ada salahnya nih.
Di pojok ruangan si bapak pemilik warung tampak tersenyum. Ada raut bahagia yang bisa kutangkap dari wajahnya. Sejenak saya tertunduk, senyum itu menamparku. Sungguh saya orang yang kurang bersyukur. Sudah kuketahui bahwa hujan adalah berkah, masih saja kugugat tiap kali kehadirannya. Di balik berteduhnya saya, di balik basahnya pakaian terdapat rejeki dari seorang bapak yang sudah mulai renta. Dengan turunnya hujan setidaknya ada satu atau dua orang yang mampir ke warungnya. Ada beberapa lembar rupiah yang masuk ke kantong si bapak.
Terkadang kita hanya harus melihat dari sisi lain agar kita bisa lebih bersyukur.
Menghimpun hikmah yang terserak masih dengan pakaian yang basah.
Ahmad Shofwan Muis

Sabtu, 19 November 2016

Belajar dari Gerakan Nonton Bola Berjamaah

Dini hari kali ini burjo terasa lebih ramai. Beberapa menit kemudian layar kaca tampak menampilkan lapangan hijau.
"Oh ternyata ada pertandingan bola. MU lawan Newcastle. Huuft".
Tanpa harus dibuat suatu gerakan, tanpa harus dibuat tampak kelihatan keren ternyata nonton bola berjamaah sudah sangat populer. Para jamaah nobariah tampak khusyuk mahsyuk larut mengikuti irama pertandingan.
Tanpa diiming-imingi do'a diijabah, diberi kebaikan lebih dari dunia dan seisinya, berpuluh pasang mata rela bangun dari tidurnya di dua pertiga malam untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Kekuatan apa yang sebenarnya dimiliki oleh Gerakan Nonton Bola Berjamaah ini? Kenapa kita tak menduplikasinya ke kegiatan lain? Jika kita bisa bangun menahan pejaman mata demi sepak bola, bukankah kita juga harusnya bisa melakukannya untuk kegiatan lain? Sholat berjamaah di masjid misalnya.



Kata seorang alim ulama "Masalah negeri ini insyaAllah akan selesai dengan sendirinya jika shof sholat berjamaah di masjid-masjid bisa seramai shof sholat jum'at".
Saya sepakat dengan pernyataan tersebut. Tentu dengan tidak serta merta sholat berjamaah menjadi penyebab keberhasilan negeri ini. Namun ada variabel penghubung di balik sholat berjamaah, yaitu komitmen dan kedisiplinan. Tanpa kedua hal tersebut, adalah hil yang mustahal kita bisa terus menerus menjaga sholat berjamaah.
Disini saya menggugat, namun saya tak berani menggugat sepenuhnya. Karena sadar atau tidak, diri inipun belum mampu komitmen seratus persen menghadiri shaf sholat berjamaah di masjid.
Ingin mengajak teman-teman yang lain dengan tetap mengingatkan pada diri yang belum sempurna ini. Yuk kita sholat berjamaah di masjid.

Dari hamba yang fakir nan dhoif
Ahmad Shofwan Muis